Gremet-gremet Waton Slamet
Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIBMenatap jauhnya langit yang memikat harapan, atau menikmati sebuah mangga bersama kawan-kawan, atau menyeka peluh paska berlarian sebelum pulang mendapatkan hukuman, mandi. Namun, itulah artifisial atas bonang di mana pendidikan, pekerjaan, bahkan status sosial bukanlah kemutlakan selain perjanjian dan percaya jalan hidup. Di sini, suatu strategi countersocialism juga seakan luput.
Komunikasi, konektivitas, kontemplasi, menjadi tiga langkah yang dapat dikatakan sebagai bentuk aktif dari wujud nyata individualitas. Tiga hal ini memang tampak begitu sepele, bahkan seringkali menjadi tumpukan barang bekas yang tertata di gudang atau koleksi tong sampah yang telah siap menjadi abu dan hilang. Sementara siklus yang demikian kompleks itu telah membawa saya pada pemahaman lain tentang bagaimana cara memahami suatu makna konektivitas dalam bersosial.
Saya akan lebih antusias menyebutnya dengan istilah “bonang” ketimbang “mutual”, yang mungkin ini akan tetap menjadi bentuk pengingat diri saya bahwa saya berasal dari dunia seni pertunjukkan. Hal yang akan selalu membawa saya pulang, mengingat, dan tersenyum lega; “saya melihat proses kreatif getar komunikasi dalam seni pertunjukkan atau saya sebut; vibrasi yang berbunyi.”
Saya mengakui, bahwa diri ini cukuplah minim untuk dapat memahami seni musik, namun di dalam setiap gaya serta daya pada seni pertunjukkan, aktifnya ragam wujud individualits akan menentukan refleksi kerjasama antara individu maupun komuni/kelompok. Interaksi individu sebagai personal sekaligus sosial bukanlah sesederhana catatan-catatan yang hadir terangkai indah di teori-teori baku yang seringkali menjebak semunya ingatan pikiran ke dalam kebekuan proses jalan hidup.
Bisa saja, semua itu menjadi seindah perjalanan proses yang diharapkan, namun, interaksi menjadi cara lain dalam menerima ilmu yang bersifat “kepemilikan” bagi individualitas atas hadirnya diri sendiri, bagi saya, inilah wujud “hidayah”. Hidayah/petunjuk menjadi cara lain memasuki gerbang proses kontemplasi sebagai nilai tawar yang bersifat indi/ego/diri tentang refleksi personal ke jalan yang bercabang, yang demikian kontras; bijak atau ceroboh.
Pertanyaan saya:
Sejauh apakah kita menerima pengalaman sebagai proses jalan hidup?
Semampu apakah kita menjadi bijak dalam membaca tanpa tebang kasih?
*
Interaksi sosial dalam budaya digital “remote atau mengenali area yang bersebrangan” tidak lagi membangun pembeda dengan ragam ruang, yang secara artifisial juga tidak adanya batas pasti dari keberadaan individu, ini menjadi tantangan menuju kebudayaan masa depan. Sesungguhnya, di sini, individu (manusia) mendapatkan hak istimewanya atas kelengkapan proses hidup, sebagai praktek melatih spirit, sebagai bentuk pendidikan tentang ilmu alam tanpa batas fisik serta psikis.
Penyatuan dalam laku “dualisme” ini tentunya, menjadi proses hidup, yang tidak akan semudah kita bersekolah di ruang akademik dengan kelulusan khusus untuk mendapatkan ijasah.
Maka, “moral” dan “janji” menjadi proses laku personal dari setiap individu yang tidak akan pernah menemukan bahkan memiliki hakim pasti selain tentang “yakin”. Tantangannya, apakah saya benar-benar percaya pada proses hidup?
Ini sungguh bentuk dilema yang sangat tragis, bahwa mengerti/mengetahui bukanlah jawaban pasti akan memahami proses jalan hidup. Serta, bahasa komunikasi sebagai praktek pertemanan di ruang digital dalam bersosial belum memiliki strategi pertahanan yang mengutamakan pelatihan tentang menjadi bijak atau ceroboh. Bahasa ini belumlah tuntas, dan kita semua dengan gagahnya keras kepala berjalan mati suri untuk suatu great reset yang belum juga menemukan penawarnya.
yang memecah nurani dalam duka
kepedihan apa laman pengindah di sini
Aku tak berada bertutur selain jarak bagimu
memaklumi kesedihan ufuk tertanggung
pada patahan celaka sebelum hujan
di tepian sajak membelah tandus
berima lembayung pada jejak tirus
begitu lirih air terjatuh mematah siku
tarum sutra kembang; wanantara
memangku konversi di seléndro
hening menggetar murda buwana
awan kemawan apung singanagara
srantèn gelombang temayun mardika
tutur lingsir di luhur gunung
ungkap seseorang sambil layu
mungkin saja lalambaran pamali
mungkin saja pangguruan sruwa
“dan, engkau hambur tumpul...”
*
Pada akhirnya, satu-satunya hal yang paling mendasar, yang telah sanggup mengingatkan saya atas proses hidup bukanlah tentang permainan catur ataupun strategi menempatkan dadu di lembar dasar desain ular tangga, namun bagaimana memegang ketapel atau menggunakan “kepemilikan” atas diri sendiri (anatomi tubuh) dengan latihan memanjat pohon mangga tetangga yang seringkali menjadi dilematis antara legal dan ilegalnya bermain. Namun sebuah layang-layang tidak berbeda dengan suatu mimpi atas harapan akan masa depan tanpa kehilangan lembarnya.
Menatap jauhnya langit yang memikat harapan, atau menikmati sebuah mangga bersama kawan-kawan, atau menyeka peluh paska berlarian sebelum pulang mendapatkan hukuman, mandi. Namun, itulah artifisial atas bonang di mana pendidikan, pekerjaan, bahkan status sosial bukanlah kemutlakan selain perjanjian dan percaya jalan hidup. Di sini, suatu strategi countersocialism juga seakan luput dalam melatih penerimaan diri sendiri untuk kesanggupan melihat hingga menatap tanpa getar goyah atas kukuh W.E.I.R.D yang tidak lebih penyeimbang kompleksnya dualisme.
Kepada para pemikir strategi intelejensia:
Hidayah mungkin tidak serupa kilau berlian atau megahnya arsitektur hybrid. Hanya saja...
“Anda semua beserta saya, tetaplah, manusia.”
Ha bagi angèstokakên anêtêpi bèrbudi bawalaksana dalam gremet-gremet waton slamet.
--- Jakarta, 22 Maret 2023
selamat menunaikan ibadah ramadhan
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Gremet-gremet Waton Slamet
Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIBMusim Masa
Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler